Pengembangan Properti di Malaysia di Tengah Pandemi COVID-19: Masalah Pertumbuhan Modal atau Keterjangkauan Perumahan?

Article featured image

Pandemi COVID-19 telah mengubah lanskap kebijakan perumahan di berbagai negara, termasuk Malaysia. Di tengah upaya pemulihan ekonomi, isu keterjangkauan hunian semakin mencuat, terutama terkait program Malaysia My Second Home (MM2H) yang justru dinilai memperparah ketimpangan pasokan properti.

Program MM2H yang digagas sejak 2002 memang dirancang untuk menarik investor asing dengan iming-iming izin tinggal jangka panjang. Namun, kebijakan ini turut memicu lonjakan proyek properti mewah, sementara kebutuhan perumahan terjangkau bagi warga lokal justru terabaikan. Data menunjukkan, pada semester pertama 2020, terdapat lebih dari 31.000 unit rumah tak terjual di Malaysia, dengan Johor dan Selangor sebagai wilayah dengan kelebihan pasokan terbesar.

Fenomena ini semakin kompleks dengan hadirnya proyek-proyek megah seperti Forest City dan pengembangan di Iskandar Puteri, yang lebih berorientasi pada pasar spekulatif internasional. Pengembang besar, termasuk dari China, memanfaatkan celah kebijakan untuk membangun hunian premium tanpa kontribusi signifikan bagi penyediaan rumah terjangkau. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara permintaan lokal dan proyek-proyek properti yang justru mengincar pembeli asing.

Pandemi COVID-19 semakin memperburuk situasi, dengan pembatasan pergerakan yang berdampak pada lesunya pasar properti internasional. Meski pemerintah menurunkan ambang harga properti untuk peserta MM2H guna menyerap kelebihan pasokan, langkah ini dinilai belum menyentuh akar masalah. Tanpa penyesuaian kebijakan yang lebih inklusif, ketidakseimbangan antara kepentingan pengembang dan kebutuhan masyarakat akan terus menjadi tantangan besar di sektor perumahan Malaysia.