Di tengah krisis properti yang melanda China, dampaknya ternyata merembet hingga ke proyek-proyek internasional. Salah satunya adalah Forest City di Malaysia, sebuah mega-proyek senilai $100 miliar yang kini lebih mirip kota mati ketimbang kawasan hunian mewah. Pengembangnya, Country Garden, yang sedang berjuang melawan utang $200 miliar, kini terpaksa memotong gaji eksekutifnya.
Proyek ambisius ini awalnya ditujukan untuk menarik investor kelas menengah China yang ingin memiliki properti di luar negeri. Namun kenyataannya, kompleks pencakar langit itu justru tampak sunyi dan mencekam. Lorong-lorongnya gelap meski di siang hari, sementara pusat perbelanjaan dan fasilitas lainnya nyaris tak berpenghuni. Sebagian besar area masih berupa lokasi konstruksi yang terbengkalai.
Joanne Kaur, salah satu dari sedikit penghuni yang tinggal di Forest City, mengakui kesan “kota hantu” yang terasa begitu kuat. “Kalau Anda berjalan-jalan di sini setelah tengah hari, rasanya seperti berada di tempat yang ditinggalkan,” ujarnya. Nazmi Hamafiah, mantan penghuni lain, bahkan memilih pergi meski harus kehilangan uang deposit sewanya. “Ini seharusnya proyek megah, tapi kenyataannya mengecewakan,” keluhnya.
Dampak krisis ini tidak hanya dirasakan oleh pengembang, tetapi juga oleh jutaan investor di China yang mengandalkan proyek semacam ini sebagai aset masa depan. Tanpa solusi cepat, ketidakpastian akan terus membayangi sektor properti China dan proyek-proyek globalnya. Forest City menjadi bukti nyata betapa rapuhnya industri ini ketika gelembung properti akhirnya pecah.