Pembangunan properti di Malaysia telah lama menjadi isu yang memicu kontroversi, terutama terkait ketidakseimbangan antara kebutuhan pengembang dan hak warga sekitar. Fenomena ini terlihat jelas di berbagai kota besar seperti Kuala Lumpur, Penang, dan Johor Bahru, di mana proyek-proyek mewah terus bermunculan sementara perumahan terjangkau semakin langka.
Salah satu penyebab utama mahalnya properti perkotaan bukan hanya biaya tanah, melainkan juga praktik korupsi yang merajalela dalam proses perizinan. Pengembang sering kali harus membayar suap kepada pejabat daerah, mulai dari staf teknis hingga anggota dewan, demi mempercepat persetujuan proyek. Akibatnya, mereka lebih memilih membangun hunian high-end untuk menutupi biaya tambahan ini, sementara pasar menengah ke bawah terabaikan.
Kondisi ini membuat generasi muda dan keluarga berpenghasilan rendah semakin sulit memiliki rumah di pusat kota. Sebuah apartemen tiga kamar dengan luas 1.200 kaki persegi bisa mencapai harga RM1,2 juta—jauh di luar jangkauan kelompok B40 dan M40. Alhasil, mereka terpaksa tinggal di pinggiran kota dan menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan untuk bekerja.
Ironisnya, pemerintah daerah sering membenarkan proyek-proyek mewah dengan dalih meningkatkan pendapatan daerah. Namun, infrastruktur yang dibangun untuk mendukung hunian elite—seperti jalan tol dan fasilitas parkir—justru memperparah kemacetan. Sementara itu, solusi yang ditawarkan, seperti proyek LRT dan MRT, belum mampu menjawab kebutuhan transportasi massal yang terjangkau bagi mayoritas penduduk.