Menimbang kerangka pembaruan perkotaan Malaysia

Article featured image

Pembaruan hukum di sektor properti Malaysia sedang menjadi sorotan dengan rencana penerbitan Rancangan Undang-Undang Pembaruan Perkotaan (URA). Inisiatif ini dinilai mampu menjawab tantangan revitalisasi kawasan kota sekaligus menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak dengan prinsip ESG (environmental, social, and governance).

David Teoh, arsitek ternama sekaligus bendahara Pertubuhan Akitek Malaysia (PAM), menyatakan bahwa transformasi perkotaan merupakan kunci pembangunan berkelanjutan. Menurutnya, kota harus terus beradaptasi dengan dinamika masyarakat modern melalui perencanaan kolaboratif. PAM sendiri telah aktif memberikan masukan konstruktif terhadap draf RUU ini selama setahun terakhir.

Salah satu poin krusial dalam URA adalah penyederhanaan mekanisme pembangunan kembali kawasan kumuh. Sistem saat ini yang mensyaratkan persetujuan 100% pemilik dinilai tidak realistis dan menghambat revitalisasi. RUU baru mengusulkan tiga kategori intervensi: pembangunan ulang total, renovasi struktural, serta revitalisasi ruang publik dengan penekanan pada aspek ekologis.

Untuk menjamin transparansi, RUU ini memperkenalkan mekanisme pengawasan ketat termasuk pra-kualifikasi pengembang dan pembentukan komite mediasi pemerintah. Ambang persetujuan pemilik juga diturunkan secara proporsional berdasarkan usia dan kondisi bangunan, mulai dari 51% untuk properti rusak hingga 80% untuk bangunan relatif baru. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat pembaruan perkotaan tanpa mengabaikan hak pemilik properti.