Menghilangkan mitos seputar tinggi

Article featured image

Pembangunan properti tinggi di Malaysia kini menuai protes warga yang merasa hak mereka terabaikan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu wilayah, melainkan melanda berbagai kota besar seperti Kuala Lumpur, Penang, hingga Johor Bahru, mencerminkan kegagalan sistemik dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat dan pengembang secara seimbang.

Di balik maraknya proyek-proyek mewah, tersembunyi praktik korupsi yang membebani industri properti. Mulai dari staf teknis hingga pejabat tinggi, setiap tahap persetujuan proyek seringkali membutuhkan ‘insentif’ tambahan. Biaya suap ini kemudian dibebankan ke harga jual properti, membuat pengembang enggan membangun perumahan terjangkau dan lebih memilih pasar high-end dengan margin keuntungan lebih besar.

Akibatnya, terjadi kesenjangan besar antara kebutuhan masyarakat dan produk properti yang tersedia. Kelompok B40 dan M40 yang menjadi tulang punggung ekonomi—mulai dari guru hingga pekerja layanan—terpaksa tinggal jauh dari pusat kota karena harga properti melambung tinggi. Kondisi ini memaksa mereka menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan untuk mencapai tempat kerja, sementara apartemen mewah justru banyak yang kosong atau dimiliki investor.

Ironisnya, pembangunan masif properti high-end justru menciptakan beban baru bagi kota. Meski diklaim meningkatkan pendapatan daerah, biaya infrastruktur pendukung seperti jalan dan transportasi publik justru membengkak. Pejabat daerah yang seharusnya menjadi penjaga tata kota malah menjadi bagian dari masalah, dengan kebijakan yang lebih menguntungkan pengembang daripada masyarakat luas. Solusi yang ditawarkan pun bersifat reaktif, seperti pembangunan jalan tol dan MRT, tanpa menyentuh akar masalah yaitu perencanaan kota yang buruk dan praktik korupsi sistemik.