Bandar Malaysia dihidupkan kembali dengan baik di tangan pemilik baru, kata para analis, tetapi kritikus mempertanyakan kesepakatannya

Article featured image

Proyek Bandar Malaysia kembali mencuri perhatian setelah KLCC Holdings resmi mengambil alih pengembangan kawasan seluas 486 acre di Kuala Lumpur. Akuisisi ini dinilai sebagai langkah strategis mengingat rekam jejak perusahaan dalam membangun landmark seperti KLCC dan Putrajaya, meski tetap memicu pertanyaan tentang transparansi transaksi.

KLCC Holdings, yang didukung penuh oleh raksasa energi Petronas, dipandang memiliki kapasitas finansial dan pengalaman untuk menghidupkan kembali megaproyek yang sempat mandek ini. Kawasan bekas pangkalan udara Sungai Besi ini awalnya dirancang sebagai terminal HSR Kuala Lumpur-Singapura, dilengkapi dengan pusat komersial, hunian, dan fasilitas hiburan. Para analis properti seperti Siva Shanker dari Rahim & Co International meyakini perusahaan ini mampu merealisasikan visi besar tersebut.

Namun, transaksi senilai RM12 miliar ini menuai kritik terkait kurangnya keterbukaan informasi. Halmie Azrie Abdul Halim, analis politik, menegaskan pentingnya akuntabilitas pemerintah mengingat sejarah kontroversial proyek ini sejak era Najib Razak. Proyek sebelumnya sempat dikaitkan dengan skandal 1MDB, ketika konsorsium China-Malaysia gagal menyelesaikan pembayaran pada 2017.

Dengan dukungan finansial kuat dari Petronas, KLCC Holdings diyakini tidak akan mengalami kesulitan pendanaan seperti pendahulunya. Ravindran Navaratnam dari Sage 3 menjelaskan bahwa proyek sebesar ini membutuhkan backer kuat untuk menghindari risiko seperti kegagalan Canary Wharf di London. Sementara itu, penyewa eksisting diminta mengosongkan lokasi dalam enam bulan sebagai persiapan pengembangan baru.