Sektor konstruksi dan properti memohon masa tenggang, tarif SST yang lebih rendah

Article featured image

Industri properti dan konstruksi Malaysia tengah menghadapi gejolak baru menyusul rencana penerapan Pajak Penjualan dan Jasa (PPJ) sebesar 6% pada jasa konstruksi mulai 1 Juli 2025. Kebijakan ini dinilai akan berdampak luas mulai dari kenaikan biaya proyek hingga gangguan terhadap kontrak yang sudah berjalan, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha.

Asosiasi Pengembang Perumahan Malaysia (Rehda) dan Asosiasi Kontraktor Malaysia (MBAM) menyatakan kebijakan ini datang di waktu yang kurang tepat. “Industri sudah menanggung berbagai beban pajak tidak langsung. Penambahan PPJ hanya akan memperparah kondisi keuangan perusahaan,” ujar Datuk Ho Hon Sang dari Rehda. Kedua asosiasi meminta penundaan implementasi hingga 2026 agar pelaku usaha memiliki waktu mempersiapkan diri.

MBAM mengusulkan agar tarif PPJ diturunkan menjadi 4% dan hanya berlaku untuk kontrak baru setelah 1 Januari 2026. “Proyek konstruksi melibatkan nilai kontrak besar. Penerapan mendadak bisa mengganggu arus kas dan menghambat penyelesaian proyek infrastruktur nasional,” jelas Oliver HC Wee dari MBAM. Mereka juga meminta agar pajak hanya dikenakan pada komponen jasa, bukan material bangunan.

Meski pengembangan perumahan dikecualikan dari PPJ, dampak tidak langsung tetap dirasakan. Kenaikan biaya konstruksi di lahan komersial—seperti apartemen servis dan ruko—berpotensi mendorong harga properti perkotaan semakin tinggi. Rehda dan MBAM berharap pemerintah mempertimbangkan kelonggaran waktu implementasi, terutama bagi UKM yang belum siap secara administratif.